Sejak pulang dari kegiatan Camp bersama Muda-i Vihara di Danau Lau Kawar masih ada 1 hal yang menjadi pikiran Hie. Bukan karena kesan indah dari pemandangan Lau Kawar. Tapi mengenai kelayakan daerah itu disebut sebagai daerah kunjungan wisata.
Seperti tampak pada gambar disamping, ada tulisan yang menerangkan kalau Danau Lau Kawar adalah daerah kunjungan wisata (tempat bertamasya). Foto ini diambil tepat dihari kita berkunjung kesana. Lokasi pamplet itu pas ada di depan lokasi kita berkemah.
Tapiii... kenyataannya menurut Hie, Lau Kawar belum pantas disebut sebagai daerah wisata. Karena masih banyak (sebagian) penduduk setempat yang tidak siap dengan kondisi ini! Kenapa Hie bisa berargumentasi seperti itu? Itu disebabkan Hie melihat dan merasakan langsung tanggapan (sebagian) penduduk setempat yang tidak welcome kepada turis. Bukannya Hie dan rombongan merasa itu turis loh... Cuma yang namanya pendatang, datang ke suatu daerah pasti dong harus mendapatkan sambutan yang hangat.
Disini Hie tidak sedang mengkritik kondisi jalan menuju ke Lau Kawar yang sedikit rusak, atau jalan masuk yang berlubang mirip kubangan, atau lokasi yang jorok dan banyak sampah. Melainkan masalah sambutan yang diberikan oleh masyarakat setempat.
Hie bagi sedikit cerita ya, begitu tiba sebagian Muda-i ada mencari ranting yang berserakan dan dikumpul tepat di belakang tenda. Tujuannya adalah agar malam bisa digunakan untuk membuat api unggun. Baru saja selesai dikumpulkan, datang 2 orang pemuda dan duduk didekat kumpulan kayu itu. Tanpa komentar lalu 'ngeluarin mancis dan membakar tumpukan kayu-kayu itu. Padahal dari awal mereka udah 'ngeliat kita sedang sibuk ngumpulin kayu itu, jadi gak ada alasan dong kalo mereka bilang mereka gak tau itu kayu siapa. Lah wong tumpukan kayu itu tepat ada dibelakang tenda kita. Trus 2 orang pemuda itu (yang menurut Hie "tidak berotak" itu) juga gak mikir kalo api yang ditimbulkan oleh kayu-kayu itu cukup besar dan bisa membuat tenda terbakar. Peserta camp udah pada sibuk dan ribut ke Hie. Hie bilang tenang aja, kalo mereka ganggu kita baru maju. Terus, peserta duduk sambil ngobrol. Lalu Hie keluarin pisau lipat dari tas pinggang. Sambil meraut kulit kayu yang ditangan sesekali Hie liatin 2 pemuda itu. Gak lama 2 pemuda "sinting" itu pun berlalu dari sana.
Jujur dalam hati, Hie merasa malu dengan kondisi tadi. Karena Hie adalah tipe orang yang sangat mencintai alam sekitar dan suka memperkenalkannya kepada orang lain. Hie aja yang orang lain cinta sama Lau Kawar, masa mereka yang punya kampung mala ngak?!
Sambutan yang negatif itu belum selesai sampai disitu. Setelah tenda dan dapur selesai didirikan, sebagian peserta sibuk mengambil foto disekitar Danau. Nah, disini peserta banyak mendengar omongan dengan kata-kata "hok kien" yang dipelesetin sama pemuda-pemuda setempat yang juga sedang ramai disana. Trus ada sebagian Muda-i datang ke Hie dan cerita masalah itu, Hie nasehatin mereka untuk diem aja. Hie juga bilang, biasanya orang yang suka begitu adalah orang-orang yang TIDAK BERSEKOLAH! Muda-i cuma senyum-senyum dan kembali ke pinggiran danau untuk berfoto-foto ria. Kejadian dengan kata-kata "hok kien" yang dipelesetin untuk manas-manasin kita juga terjadi saat kita lagi main lompat tali.
Menurut Hie sekarang ini udah gak jaman deh saling 'ngejek memakai bahasa suku tertentu! Lagian apa ada untungnya ya? idiiihhh... Mungkin mereka yang melakukan itu adalah orang-orang yang gak tau kalo zaman udah berubah. WOooiiiii, ini bukan zaman batu lagi! pingin banget Hie jerit begitu di telinga mereka itu!
Yang lebih parah adalah : ada begitu banyak orang yang mabuk di lokasi kita camp. Bahkan ada sebuah warung yang membuka lagu disko keras-keras! bussyettt... ini lokasi wisata ato diskotik? pikir Hie dalam hati.
Saat Hie cerita masalah ini ke supir yang notabene adalah penduduk asli, sang supir langsung mencak-mencak. "Bikin malu saja! Bagaimana kampung kita bisa maju kalo begini caranya?!" katanya dengan nada tinggi. Hie cuma bisa senyum-senyum saja sambil 'ngoper tas ke atas atas bus, karena kita semua emang udah gak betah dan mau pindah ke Sibolangit.
Tiba di Sibolangit yang udah gelap gulita dan hati penuh cemas, tapi masih mendapat sambutan hangat yang jelas sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan di Lau Kawar.
" Kok malam kali kalian datang anak ku...." tanya seorang ibu paruh baya ke Hie.
" Iya, tadi kita kena macet di Lau Kawar..." bohong Hie. Mana mungkin lah dijelasin kalo kita cabut dari Lau Kawar karena gak tahan liat pertunjukkan "LIAR" dari sebagian penduduk setempat.
Hie sangat berharap melalui tulisan di blog ini, ada orang-orang yang juga bisa turut perduli akan masalah ini. Kita adalah sama-sama orang Indonesia, sama-sama ingin Indonesia ini maju, sama-sama iri melihat negara lain yang pariwisatanya bisa begitu maju, seharusnya mari kita sama-sama bergandengan tangan memajukan pariwisata kita yang JAUH lebih bagus dan indah dari negara-negara lain di dunia ini!
MERDEKA!
No comments:
Post a Comment